Beberapa hari sebelum memasuki Ramadan kemarin, saya berkesempatan berbincang santai dengan salah satu petinggi perusahaan multinasional yang bergerak di sektor manufaktur.
Eksekutif tersebut, yang kebetulan berkebangsaan Amerika, menyoroti betapa kelangkaan talenta profesional kini terjadi di banyak negara Asia, khususnya negara-negara yang sering menjadi tujuan penanaman modal asing seperti China, Vietnam, dan Indonesia. Dari pembicaraan sekitar satu jam tersebut, saya makin menyadari bahwa para penanam modal asing, yang kehadirannya di Indonesia bisa dianggap sebagai salah satu pendorong penggerak perekonomian nasional, ternyata tidak semata mementingkan kemudahan berinvestasi yang ditawarkan pemerintah atau adanya infrastruktur yang memadai sebagai faktor penentu utama dalam menanamkan modalnya di satu negara.
Tetapi, mereka juga sangat memperhatikan ketersediaan talenta profesional (khususnya talenta lokal) yang memiliki wawasan bisnis luas, kompetensi teknis yang memadai, pengalaman kerja di industri yang relevan, dan kemampuan berkomunikasi yang luwes (terutama kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya).
Tiga Pihak yang Harus Terlibat
Mengapa kelangkaan talenta profesional ini bisa terjadi di Indonesia? Selaku praktisi yang berkecimpung di dunia ketenagakerjaan, saya mengamati bahwa penyebab utamanya tidak lain dan tidak bukan justru bermuara pada tiga pihak yang selama ini terlibat langsung dalam dunia kerja di Indonesia yaitu perguruan tinggi, pengusaha, dan tenaga kerja.
Banyaknya perguruan tinggi di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta, ternyata tidak selalu menjamin melahirkan kualitas lulusan yang memiliki potensi menjanjikan. Meskipun sudah berusaha secara maksimal untuk memenuhi tuntutan dunia usaha, tampaknya hingga saat ini perguruan tinggi masih harus berusaha mencari tahu secara lebih detail bagaimanakah karakteristik lulusan yang bisa diserap secara langsung dunia usaha di berbagai sektor industri, khususnya yang berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir ini seperti perkebunan, teknologi informasi, telekomunikasi, pertambangan, perdagangan eceran (retail), energi, dan jasa keuangan berbasis syariah.
Kalangan pengusaha juga harus lebih proaktif dalam mengatasi kelangkaan talenta profesional ini dengan melakukan beberapa hal di antaranya menjalin komunikasi yang lebih intensif dengan kalangan perguruan tinggi untuk menjamin ketersediaan suplai tenaga kerja baru yang potensial dan dapat dikembangkan ke depan. Hal tersebut dapat dilakukan misalnya melalui serangkaian program pelatihan dan pengembangan karyawan yang berkesinambungan, dimulai dari level paling bawah sampai level paling atas, diiringi dengan manajemen kinerja yang bertujuan mengevaluasi hasil kerja dan kinerja seluruh karyawan.
Dari situ pengusaha akan mudah melihat siapakah talenta- talenta muda berbakat yang berpotensi untuk terus dikembangkan dan diorbitkan menjadi eksekutif perusahaan masa depan. Dari sisi tenaga kerja pun tentunya diharapkan untuk lebih mawas diri dalam menyikapi kelangkaan talenta profesional yang berkualitas. Saya melihat bahwa yang terjadi selama ini sebetulnya agak ironis karena ternyata masih banyak sekali talenta profesional lokal yang sebetulnya memiliki kompetensi dan pengalaman yang mumpuni namun tidak memiliki kemampuan dalam menonjolkan kelebihan yang dimilikinya sehingga membuat nilai jualnya pun tidak terangkat di mata dunia usaha pada umumnya, ataupun di mata perusahaan tempatnya bekerja pada khususnya.
Lebih celakanya lagi masih banyak pula tenaga kerja di Indonesia yang terlalu fokus pada hal-hal yang bersifat teknis (hard skill) namun melupakan hal-hal yang bersifat nonteknis (soft skill) seperti kepercayaan diri, kemampuan berkomunikasi, pengendalian emosi, kepemimpinan, maupun keterampilan dalam menjalin hubungan antarpribadi. Kemampuan yang sifatnya tidak kasatmata (intangible) inilah yang justru lebih sering digunakan sebagai dasar penilaian untuk melihat potensi dan talenta seseorang dalam dunia kerja.
Merawat dan Menjaga Talenta Profesional
Ketika sebuah perusahaan telah berhasil menemukan talenta profesional yang berpotensi dikembangkan sebagai calon eksekutif atau calon pemimpin perusahaan di masa depan, apa yang harus dilakukan untuk menjaga agar talenta- talenta tersebut tidak beralih ke perusahaan lain?
Kini memang bukan masanya lagi perusahaan sekadar memberikan kompensasi melimpah disertai sejumlah benefits menggiurkan lalu berharap agar talentanya tidak berpaling ke perusahaan lain, melainkan lebih dari itu, perusahaan juga diharapkan memperhatikan hal-hal lain yang seringkali luput dari perhatian dan beberapa di antaranya adalah:
Pertama, kesempatan untuk berkembang. Ketika talenta tersebut tidak menemukan tantangan baru yang berkesinambungan di perusahaan tempat kerjanya sekarang untuk membuat dirinya dapat terus belajar dan berkembang, dia tidak akan segan untuk berpaling ke perusahaan lain demi mencari tantangan yang lebih besar.
Kedua, kesempatan untuk berkontribusi. Talenta-talenta profesional selalu berharap bakat yang dimilikinya dapat tersalur secara optimal dalam wujud kontribusi nyata pada perusahaan, misalnya turut andil dalam pengembangan produk baru, upaya peningkatan penjualan perusahaan atau berperan pada penyusunan strategi peluncuran produk baru.
Ketiga, kesempatan untuk dihargai. Seiring dengan kerja keras yang dilakukannya, para talenta tersebut tentunya juga membutuhkan pengakuan dan penghargaan atas prestasi yang diraihnya bagi kemajuan perusahaan. Tidak selamanya penghargaan ini berupa uang atau hal-hal materiil lainnya, tapi bisa juga hanya berupa hal-hal sederhana seperti misalnya pujian lisan yang diberikan secara langsung oleh para petinggi perusahaan.
Keempat, kesempatan untuk menyeimbangkan kehidupan profesional dan kehidupan pribadi. Tidak ada satu pun talenta-talenta profesional yang rela menghabiskan sebagian besar dari 24 jam waktu dalam sehari yang dimilikinya untuk sepenuhnya mencurahkan waktu bagi perusahaan dan terpaksa mengesampingkan waktu untuk keluarga ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya.
Kesempatan untuk menyeimbangkan dua aspek kehidupannya tersebut juga menjadi salah satu strategi efektif untuk menjaga agar talenta-talenta tersebut tidak mudah berpaling. (*)
HARYO UTOMO SURYOSUMARTO
Managing Director PT Headhunter Indonesia
Tulisan ini adalah artikel lama saya yang pernah diterbitkan oleh Harian Seputar Indonesia pada tanggal 12 September 2010. Dimuat kembali di blog ini dengan sedikit revisi yang tidak mengubah inti tulisan.
Mawardi
September 1, 2015Selamat pagi Mas Haryo,
Terkesan dan menarik sekali ulasan artikel mas Haryo tentang Menyikapi Kelangkaan Talenta Profesional di Indonesia. Dimana penyebab utamanya tidak lain dan tidak bukan justru bermuara pada tiga pihak yang selama ini terlibat langsung dalam dunia kerja di Indonesia yaitu perguruan tinggi, pengusaha, dan tenaga kerja.
Kita melihat tidak sedikit dari talenta profesional Indonesia yang bekerja di luar negeri. Memang dengan penempatan tenaga profesional di beberapa perusahaan manca negara bisa sedikit memberi rasa bangga tersendiri bagi si pekerja, disamping juga menambah devisa. Akan tetapi mengapa tenaga profesional itu tidak di “manfaatkan” negeri sendiri untuk membangun negeri ini lebih maju lagi mas Haryo ? Dengan adanya tenaga profesional republik Indonesia menjadi incaran banyak negara membuktikan bahwa sesungguhnya kita di akui punya potensi yang tidak bisa di remehkan dan semakin diakui di mancanegara.
Haryo Suryosumarto
September 1, 2015Pada beberapa kesempatan saya sempat berbicara dengan beberapa professional Indonesia yang bekerja di luar negeri. Mereka memang mengakui selama tenaga mereka masih dibutuhkan oleh perusahaan di luar negeri dan tidak ada faktor yang memaksa mereka untuk pulang ke Indonesia, mereka masih ingin bekerja di luar negeri beberapa tahun lagi. Jadi saya percaya cepat atau lambat para professional yang melanglang-buana ke negeri seberang pada akhirnya akan kembali ke tanah air dan mengabdikan dirinya kembali disini.
Hanya memang saya pribadi berpendapat kalau para professional Indonesia yang pernah lama tinggal dan bekerja di luar negeri, sebaiknya kembali ke tanah air untuk mengabdikan diri dengan cara mendirikan perusahaan atau yayasan — dan bukan kembali ke tanah air sebagai professional di perusahaan. Di satu sisi tidak banyak perusahaan di Indonesia yang sanggup membayar remunerasi setara dengan yang mereka terima di luar negeri, dan di sisi lain mereka juga akan bisa memberikan manfaat lebih luas serta berbagi ilmu dengan lebih banyak pihak melalui pendirian perusahaan atau yayasan tersebut.